Imam Nasa`i dengan nama lengkapnya Ahmad bin Syu'aib Al Khurasany, terkenal dengan nama An Nasa`i karena dinisbahkan dengan kota Nasa'i salah satu kota di Khurasan. Ia dilahirkan pada tahun 215 Hijriah demikian menurut Adz Dzahabi dan meninggal dunia pada hari Senin tanggal 13 Shafar 303 Hijriah di Palestina lalu dikuburkan di Baitul Maqdis.
Dia menerima Hadits dari Sa'id, Ishaq bin Rawahih dan ulama-ulama lainnya selain itu dari kalangan tokoh ulama ahli hadits yang berada di Khurasanb, Hijaz, Irak, Mesir, Syam, dan Jazirah Arab. Ia termasuk di antara ulama yang ahli di bidang ini dan karena ketinggian sanad hadtsnya. Ia lebih kuat hafalannya menurut para ulama ahli hadits dari Imam Muslim dan kitab Sunan An Nasa`i lebih sedikit hadits dhaifnya (lemah) setelah Hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Ia pernah menetap di Mesir
Para guru dia yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa`id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami`/Sunan al-Tirmidzi).
Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah dia, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu`jam), Abu Ja`far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakr bin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa`i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa`i.
Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.
Tidak ketinggalan pula Imam al-Nasa`i. Karangan-karangan dia yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi`i.
Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa`i, kitab ini dikenal dengan al-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, dia kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada al-Nasa`i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Dia menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”.
Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, dia kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya dia berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra, sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama.
Imam al-Nasa`i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah derajat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena hadis-hadis yang termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra.
Disamping al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa`i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya.
Imam Nasa’i juga merupakan tokoh ulama kenamaan ahli hadith pada masanya. Selain Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ At-Tirmidzi, juga karya besar Imam Nasa’i, Sunan us-Sughra termasuk jajaran kitab hadith pokok yang dapat dipercayai dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith.
Ia adalah seorang imam ahli hadith syaikhul Islam sebagaimana diungkapkan az-Zahabi dalam Tazkirah-nya Abu ‘Abdurrahman Ahmad bin ‘Ali bin Syu’aib ‘Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-Qadi, pengarang kitab Sunan dan kitab-kitab berharga lainnya. Juga ia adalah seorang ulama hadith yang jadi ikutan dan ulama terkemuka melebihi para ulama yang hidup pada zamannya.
Pengembaraannya
Ia lahir dan tumbuh berkembang di Nasa’, sebuah kota di Khurasan yang banyak melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri kelahirannya itulah ia menghafal Al-Qur’an dan dari guru-guru negerinya ia menerima pelajaran ilmu-ilmu agama yang pokok. Setelah meningkat remaja, ia senang mengembara untuk mendapatkan hadith. Belum lagi berusia 15 tahun, ia berangkat mengembara menuju Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan Jazirah. Kepada ulama-ulama negeri tersebut ia belajar hadith, sehingga ia menjadi seorang yang sangat terkemuka dalam bidang hadith yang mempunyai sanad yang ‘Ali (sedikit sanadnya) dan dalam bidang kekuatan periwayatan hadith.
Nasa’i merasa cocok tinggal di Mesir. Kerananya, ia kemudian menetap di negeri itu, di jalan Qanadil. Dan seterusnya menetap di kampung itu hingga setahun menjelang wafatnya. Kemudian ia berpindah ke Damsyik. Di tempatnya yang baru ini ia mengalami suatu peristiwa tragis yang menyebabkan ia menjadi syahid. Alkisah, ia dimintai pendapat tentang keutamaan Mu’awiyyah r.a. Tindakan ini seakan-akan mereka minta kepada Nasa’i agar menulis sebuah buku tentang keutamaan Mu’awiyyah, sebagaimana ia telah menulis mengenai keutamaan Ali r.a.
Oleh kerana itu ia menjawab kepada penanya tersebut dengan “Tidakkah Engkau merasa puas dengan adanya kesamaan darjat (antara Mu’awiyyah dengan Ali), sehingga Engkau merasa perlu untuk mengutamakannya?” Mendapat jawaban seperti ini mereka naik pitam, lalu memukulinya sampai-sampai buah kemaluannya pun dipukul, dan menginjak-injaknya yang kemudian menyeretnya keluar dari masjid, sehingga ia nyaris menemui kematiannya.
Kritik Ibnu al-Jauzy
Kita perlu menilai jawaban Imam al-Nasa`i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara kritis, dimana dia mengatakan dengan sejujurnya bahwa hadis-hadis yang tertuang dalam kitabnya tidak semuanya shahih, tapi adapula yang hasan, dan ada pula yang menyerupainya. Ia tidak mengatakan bahwa didalamnya terdapat hadis dhaif (lemah) atau maudhu (palsu). Ini artinya dia tidak pernah memasukkan sebuah hadispun yang dinilai sebagai hadis dhaif atau maudhu`, minimal menurut pandangan dia.
Apabila setelah hadis-hadis yang ada di dalam kitab pertama diseleksi dengan teliti, sesuai permintaan Amir Ramlah supaya dia hanya menuliskan hadis yang berkualitas shahih semata. Dari sini bisa diambil kesimpulan, apabila hadis hasan saja tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadis yang berkualitas dhaif dan maudhu` tentu lebih tidak berhak untuk disandingkan dengan hadis-hadis shahih.
Namun, Ibn al-Jauzy pengarang kitab al Maudhuat (hadis-hadis palsu), mengatakan bahwa hadis-hadis yang ada di dalam kitab al-Sunan al-Sughra tidak semuanya berkualitas shahih, namun ada yang maudhu` (palsu). Ibn al-Jauzy menemukan sepuluh hadis maudhu` di dalamnya, sehingga memunculkan kritik tajam terhadap kredibilitas al-Sunan al-Sughra. Seperti yang telah disinggung dimuka, hadis itu semua shahih menurut Imam al-Nasa`i. Adapun orang belakangan menilai hadis tersebut ada yang maudhu`, itu merupakan pandangan subyektivitas penilai. Dan masing-masing orang mempunyai kaidah-kaidah mandiri dalam menilai kualitas sebuah hadis. Demikian pula kaidah yang ditawarkan Imam al-Nasa`i dalam menilai keshahihan sebuah hadis, nampaknya berbeda dengan kaidah yang diterapkan oleh Ibn al-Jauzy. Sehingga dari sini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan itu sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.
Kritikan pedas Ibn al-Jauzy terhadap keautentikan karya monumental Imam al-Nasa`i ini, nampaknya mendapatkan bantahan yang cukup keras pula dari pakar hadis abad ke-9, yakni Imam Jalal al-Din al-Suyuti, dalam Sunan al-Nasa`i, memang terdapat hadis yang shahih, hasan, dan dhaif. Hanya saja jumlahnya relatif sedikit. Imam al-Suyuti tidak sampai menghasilkan kesimpulan bahwa ada hadis maudhu` yang termuat dalam Sunan al-Nasa`i, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam Ibn al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahwah hadis yang ada di dalam kitab Sunan al-Nasa`i semuanya berkualitas shahih, ini merupakan pandangan yang menurut Muhammad Abu Syahbah_tidak didukung oleh penelitian mendalam dan jeli. Kecuali maksud pernyataan itu bahwa mayoritas (sebagian besar) isi kitab Sunan al-Nasa`i berkualitas shahih
Wafat
Tidak ada kesepakatan pendapat tentang di mana ia meninggal dunia. Imam Daraqutni menjelaskan, bahawa di saat mendapat cubaan tragis di Damsyik itu ia meminta supaya dibawa ke Makkah. Permohonannya ini dikabulkan dan ia meninggal di Makkah, kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Safa dan Marwah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Misri dan ulama yang lain.
Imam az-Zahabi tidak sependapat dengan pendapat di atas. Menurutnya yang benar ialah bahawa Nasa’i meningal di Ramlah, suatu tempat di Palestina. Ibn Yunus dalam Tarikhnya setuju dengan pendapat ini, demikian juga Abu Ja’far at-Tahawi dan Abu Bakar bin Naqatah. Selain pendapat ini menyatakan bahawa ia meninggal di Ramlah, tetapi yang jelas ia dikebumikan di Baitul Maqdis. Ia wafat pada tahun 303 H.
Sifat-Sifatnya
Ia bermuka tampan. Warna kulitnya kemerah-merahan dan ia senang mengenakan pakaian garis-garis buatan Yaman. Ia adalah seorang yang banyak melakukan ibadah, baik di waktu malam atau siang hari, dan selalu beribadah haji dan berjihad.
Ia sering ikut bertempur bersama-sama dengan gabenor Mesir. Mereka mengakui kesatriaan dan keberaniannya, serta sikap konsistensinya yang berpegang teguh pada sunnah dalam menangani masalah penebusan kaum Muslimin yang tetangkap lawan. Dengan demikian ia dikenal senantiasa “menjaga jarak” dengan majlis sang Amir, padahal ia tidak jarang ikut bertempur besamanya. Demikianlah. Maka, hendaklah para ulama itu senantiasa menyebar luaskan ilmu dan pengetahuan. Namun ada panggilan untuk berjihad, hendaklah mereka segera memenuhi panggilan itu. Selain itu, Nasa’i telah mengikuti jejak Nabi Dawud, sehari puasa dan sehari tidak.
Fiqh Nasa'i
Ia tidak saja ahli dan hafal hadith, mengetahui para perawi dan kelemahan-kelemahan hadith yang diriwayatkan, tetapi ia juga ahli fiqh yang berwawasan luas.
Imam Daraqutni pernah berkata mengenai Nasa’i bahawa ia adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang hadith dan perawi-perawi.
Ibnul Asirr al-Jazairi menerangkan dalam mukadimah Jami’ul Usul-nya, bahawa Nasa’i bermazhab Syafi’i dan ia mempunyai kitab Manasik yang ditulis berdasarkan mazhab Safi’i, rahimahullah.
Karya-Karyanya
Imam Nasa’i telah menusil beberapa kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya. Di antaranya:
- As-Sunan ul-Kuba.
- As-Sunan us-Sughra, tekenal dengan nama Al-Mujtaba.
- Al-Khasa’is.
- Fada’ilus-Sahabah.
- Al-Manasik.
Di antara karya-karya tersebut, yang paling besar dan bemutu adalah Kitab As-Sunan.