Uswatun Hasanah - Seorang hartawan, hidup bahagia dengan istrinya yang cantik. Rumah gedung yang megah, lengkap dengan segala macam kebutuhan yang mewah. Pekarangan yang luas, ditumbuhi oleh pohon buah-buahan yang tumbuh subur, dilingkungi oleh tembok keliling yang tinggi. Setiap hari makanannya mewah, tak pernah merasakan kekurangan. Kehidupan yang demikian membuat dia berhati keras, tidak mau kasihan pada orang lain. Perasaan takabbur selalu bersarang dalam hatinya. Apabila dia melihat orang miskin ia merasajijik dan menghina.
Pada suatu hari ia sedang makan siang bersama istrinya, ia mendengar ucapan salam dari luar tembok. Dia menyuruh istrinya melihat orang yang datang itu. Istri yang diperintah terpaksa melepaskan nasi dan ayam panggang yang ada ditangannya. Dia melihat ada pengemis mau masuk minta rezeki.pengemis itu kelihatan bersih karena taat beribadah. Walaupun pakaiannya penuh tambalan, tetapi wajah berseri-seri dari cahaya wudlu’ dan sujud setiap waktu. Alangkah kasihannya wanita itu melihat pengemis yang hampir-hampir tak bertenaga itu. Maka diberitahunyalah suaminya , bahwa ada pengemis mau minta rezeki. Timbullah rasa benci dan jahat orang kaya itu setelah diberi tahu bahwa yang datang itu bukan sesame kayanya melainkan pengemis. Kedatangannya bukan untuk menambah harta tetapi untuk mengurangi. Maka dengan kasarnya ia berkata pada istrinya : “tutup pintu gerbang itu !. jangan berikan ia dekat-dekat kemari. Biar dia mati kelaparan”.
Istri yang setia itu dengan hati luluh terpaksa menutup pintu, karena diperintah oleh suaminya. Air matanya berlinang karena kasihan, tetapi apa mau dikata, dia cuma perintah.
Pengemis itupun terpaksa angkat kaki meninggalkan  tempat itu dengan hati pedih bagai di iris dengan sembilu. Dia berurai air mata, menuju rumah orang lain. Dia bersabar menunggu keputusan Allah buat dirinya. Berkatalah ia dalam hatinya : “mengapa orang itu sampai hati memperlakukan aku begitu kasar. Padahal kalau dia tidak mau member, aku tidak akan memaksa. Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Mengetahui hambamu pada diriku”.
Berkat kesabarannya, maka dia mendapat rezeki yang agak  banyak. Rezeki itu dia pakai menjadi modalnya berusaha. Karena kejujurannya dalam berniaga, maka dalam tempobeberapa tahun saja dia dapat membangun rumah mewah, dikelilingi tembok tinggi. Hidupnnya menjadi bahagia. Mulailah banyak orang yang mengaku bersaudara, tidak sedikit yang yang mengaku misan, padahal sewaktu dia menjadi pengemis seorangpun tak sudi menoleh, apalagi mengaku keluarga. Sebenarnya yang diakui saudara adalah gedung yang mewah, yang diakui misan adalah uang yang banyak. Sewaktu pohon meranggas, orang tak mau mendekat, malahan mau menebang. Tetapi bilamana pohon sudah rimbun apalagi berbuah  lebat dan sudah ranum disitulah orang berkumpul pagi sore.
Adapun orang kaya yang menyuruh istrinya mengusir pengemis itu, dapat pula balasan atas perbuatannya. Pertama kali, dia tidak merasa puas dengan istrinya. Akibatnya sering terjadi perang mulut. Lama-lama meningkat menjadi perang cendol dan akhirnya tak dapat dikendalikan lagi, meluncurlah ucapan “cerai” dari mulutnya. Keduanya berpisah. Yang wanita berpindah kerumah orang tuanya. Karena dia janda muda lagi cantik, banyaklah orang yang merasa tertarik padanya. Pada suatu ketika dia dilamar oleh seorang kaya. Dia diajak kawin. Maka dengan takdir Allah kawinlah ia dengan orang kaya itu. Rupanya nasib baik bagi si wanita berkat jiwa kasih sayang yang ditanamkan ayah bundanya sejak kecil. Dari orang kaya pindah ke orang kaya lagi. Maka pada suami yang kedua ini dia dapat menikmati hidup yang lebih bahagia dari semula.
Bekas suaminya semakin ngawur. Kehidupannya semakin merosot. Dalam tempo beberapa bulan saja harta bendanya sudah terjual. Lama-lama tanahnya tergadai semua. Akhirnya karena ekonomi yang morat-marit tak ada yang mengendalikan, terjual pula tanahnya semua. Tinggallah rumah dengan pekarangan saja. Tetapi itupun lama-lama terjual pula. Maka hiduplah dia menjadi pengemis yang tidurnya diemper-emper toko, dengan pakaian compang-camping penuh tambalan. Kelihatannya kotor dan menjijikkan.
Pada suatu hari pengemis kumal itu pergi mengadu nasib, menuju rumah seorang kaya. Dari luar tembok dia mengucap salam. Kebetulan tuan rumah dengan istrinya sedang makan siang menikmati nasi dan ayam panggang. Orang kaya itu menyuruh istrinya melihat orang yang datang itu. Istri yang setia itu bangun lalu melihat ke pintu gerbang. Dilihatnya seorang peengemis berdiri meminta rezeki. wanita itu segera memberitahu suaminya, ada pengemis. Orang kaya itu merasa kasihan, disuruhnya istrinya mengajak pengemis itu masuk, tetapi pengemis itu tidak mau. Maka dibungkuskanlah nasi dengan lauk cukup. Kemudian istri itu member pengemis yang sedang menunggu diluar. Wanita itu menangis, lalu kembali kepada suaminya. Suaminya bertanya : “mengapa kamu menangis?. Apakah kamu ayang nasimu yang disedekahkan itu?”.
Dia menjawab :”tidak, saya sudah terbiasa bersedekah. Tetapi pengemis itu adalah bekas suamiku yang dahulu. Say kasihan.”
“kalau pengemis yang kamu berikan makan tadi itu bekas suamimu, maka ketahuilah, bahwa suamimu yang sekarang ini adalah pengemis yang kamu usir dahulu, kamu tutupkan pintu gerbang atas perintah suamimu itu,” kata suaminya.
Barulah wanita itu mengetahui, keadaan sudah terbalik 180˚. Suaminya yang dahulu sudah menjadi pengemis dan pengemis yang diusirnya dahulu, sudah kaya menjadi suaminya yang sekarang.
Oleh karenanya, janganlah menghina orang bagaimanapun tinggi dan kaya kita. Karena Allah tidak senang kepada orang yang suka menghina. Orang yang dihina kalau bersabar dia akan dinaikkan derajatnya oleh Allah. Sebaliknya orang yang menghina akan dihina Allah.

Dikutip dari : Buku USWATUN HASANAH Bagian 1, Kemuliaan Hari Jum’at. Karya Alm. TGH. L. Ibrahim M. Thoyyib


 
Top